LENSA PARLEMEN – SURABAYA
Wali Kota Surabaya, Eri Cahyadi, menyatakan perang terhadap praktik pungutan liar (pungli) dalam pelayanan publik. Dalam arahannya kepada seluruh OPD, camat, dan lurah, ia menegaskan bahwa ASN yang terbukti melakukan pungli wajib mundur. Langkah tegas ini mendapat dukungan penuh dari Komisi A DPRD Kota Surabaya.
Arahan keras ini mendapat dukungan penuh dari Komisi A DPRD Kota Surabaya. Anggota Komisi A, H. Trididik Adiono, menyatakan bahwa pungli merupakan akar dari praktik korupsi yang lebih besar dan harus diberantas hingga ke akar-akarnya.
“Saya sangat setuju. Akar dari korupsi itu ya pungli. Pungli memang kecil, tapi kalau mentalnya sudah terbiasa dengan hal kecil begitu, maka yang besar pun bisa terjadi. Kalau sudah di era transparansi seperti ini, seharusnya pungli tidak ada lagi,” kata H. Trididik Adiono, Jum’at (12/9).
Ia menekankan bahwa ASN yang terbukti melakukan pungli memang layak untuk mundur sebagai bentuk tanggung jawab moral. Bahkan menurutnya, pimpinan dari ASN tersebut juga harus ikut dievaluasi dan diberikan sanksi karena dianggap gagal membina bawahannya.
Lebih lanjut, H.Trididik menyoroti pentingnya kualitas pelayanan publik sebagai wajah dari Pemerintah Kota Surabaya.
“Pelayanan masyarakat, khususnya di tingkat kelurahan dan rumah sakit, adalah wajah pemerintah kota. Kalau pelayanan itu buruk, maka citra pemerintah kota juga akan ikut buruk,” ujarnya.
Menanggapi kondisi ini, Komisi A DPRD Kota Surabaya mendorong adanya peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM) di garda terdepan pelayanan publik, khususnya di kelurahan dan kecamatan.
H.Trididik menekankan bahwa selain pelatihan teknis, pelatihan mental dan pembinaan etika kerja juga harus rutin diberikan kepada para petugas pelayanan.
“Saya sudah sering menyampaikan, frontline pelayanan masyarakat harus mendapatkan diklat secara berkala, khususnya terkait mental dan attitude. Lihat saja di bank swasta, petugas pelayanan mereka memiliki penampilan dan sikap yang menarik dan profesional. Hal seperti itu harus diterapkan juga di instansi pemerintahan,” jelasnya.
Menurutnya, penempatan petugas frontliner tidak harus selalu dari kalangan ASN. Jika perlu, tenaga outsourcing yang memiliki kualitas SDM, moral, dan etika kerja yang baik juga bisa diberdayakan.
“Kalau ada ASN yang penampilannya kurang rapi dan attitude-nya kurang baik, itu juga jadi masalah. Kita butuh perubahan besar dalam pelayanan publik,” tegasnya.
Sebagai penutup, H.Trididik berharap agar kejadian ini menjadi momentum untuk melakukan evaluasi menyeluruh terhadap sistem pelayanan publik di Surabaya.
“Harus ada perubahan nyata. Sudah sejak lama saya sampaikan, frontline adalah ujung tombak pelayanan. Jadi, mari kita tata ulang agar masyarakat mendapatkan pelayanan terbaik dari pemerintah kota,” pungkasnya.
Editor: Redaksi
Reporter: B4M