LENSA PARLEMEN- SURABAYA
Legislator Komisi D DPRD Kota Surabaya dari Fraksi PAN, dr. Zurohtul Mar’ah, menegaskan pentingnya keselarasan pandangan antara fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP), rumah sakit, dan pihak BPJS dalam penanganan pasien. Hal ini disampaikannya usai menghadiri rapat koordinasi bersama kepala Dinas Kesehatan dan seluruh kepala Puskesmas se-Surabaya, di lantai 3 Gedung Kantor DPRD Surabaya, Jl. Yos Sudarso, Selasa (1/7).
Dalam pertemuan tersebut, salah satu isu krusial yang dibahas adalah pemahaman mengenai 144 diagnosis yang menjadi kompetensi dokter umum dalam skema layanan BPJS. dr. Zurohtul menegaskan bahwa 144 diagnosis tersebut tidak menjadi batasan mutlak dalam menentukan rujukan ke rumah sakit, terlebih untuk kasus gawat darurat.
“Pasien gawat darurat tidak harus sesuai dengan 144 diagnosis. Yang menentukan adalah dokter penanggung jawab pelayanan (DPJP) berdasarkan anamnesa dan pemeriksaan fisik yang lengkap,” jelas dr. Zurohtul Mar’ah kepada media lensaparlemen.id, usai rapat tersebut.
Ia mencontohkan kasus seperti demam tinggi disertai muntah hebat dan diare, yang dapat dikategorikan sebagai gawat darurat meskipun suhu tubuh pasien belum mencapai 39°C. Dalam kondisi seperti ini, DPJP memiliki wewenang menentukan tindakan medis, dan BPJS diharapkan tidak serta merta menyatakan kasus tersebut “tidak layak bayar (TLB)”
Menurutnya, status TLB dari BPJS sering menimbulkan ketakutan bagi tenaga medis di UGD. Hal ini dapat berujung pada dilema antara memberikan layanan darurat atau mengikuti aturan administratif yang kaku.
“Rumah sakit sudah mengerahkan SDM, dokter, nakes, bahkan bahan medis habis pakai. Kalau ujung-ujungnya tidak dibayar BPJS, kan kasihan,” ujar dr. Zurohtul.
Ia menekankan agar status TLB diminimalisasi, atau bila perlu, dihilangkan, dengan komunikasi dan koordinasi yang lebih intens antara BPJS, rumah sakit, dan FKTP.
Selain itu, dr. Zurohtul juga menggarisbawahi perlunya evaluasi terhadap ketersediaan sumber daya manusia, sarana, dan prasarana untuk mendukung pelayanan Puskesmas 24 jam. Hal ini, menurutnya, sangat penting agar Puskesmas dapat benar-benar menjadi garda terdepan dalam memberikan pelayanan kesehatan yang prima kepada masyarakat.
“Puskesmas harus punya kapasitas untuk melayani 24 jam, baik dari sisi tenaga medis, obat-obatan, maupun fasilitas pendukung lainnya,” tambahnya.
dr. Zurohtul juga menyoroti pentingnya edukasi kepada masyarakat terkait kapan harus ke UGD dan kapan cukup ke puskesmas atau klinik. Ia mengingatkan bahwa batuk, pilek, atau demam ringan sebaiknya ditangani di FKTP terlebih dahulu, kecuali muncul gejala berat seperti sesak napas, nyeri dada, atau penurunan kesadaran mendadak.
“Jangan tunggu keesokan hari jika ada gejala stroke, nyeri dada menjalar, atau kelemahan separuh tubuh. Segera ke rumah sakit, karena ada golden period untuk penanganan,” tegasnya.
Salah satu agenda penting yang turut dibahas adalah optimalisasi program rujuk balik bagi pasien penyakit kronis yang sudah terkontrol. Pasien seperti penderita hipertensi atau diabetes yang kondisinya stabil sebaiknya dikembalikan ke puskesmas untuk pemantauan rutin, bukan terus-menerus ke rumah sakit.
“Program Pengelolaan Penyakit Kronis (Prolanis) di FKTP harus dijalankan lebih ramah dan berkelanjutan, termasuk membangun komunitas pasien yang saling mendukung,” kata dr. Zurohtul.
Ia bahkan mendorong pendekatan gotong royong antar pasien untuk menunjang kegiatan edukasi, seperti penyediaan konsumsi sehat saat pertemuan rutin Prolanis.
Menutup keterangannya, dr. Zurohtul menyampaikan harapan agar seluruh pihak saling introspeksi demi keberlangsungan layanan BPJS Kesehatan. Ia menekankan pentingnya rekam medis yang lengkap, transparansi dalam rujukan horizontal antar poli, serta sikap profesional dari semua lini layanan kesehatan.
“Kita semua punya tanggung jawab menjaga keberadaan BPJS. Ini bukan sekadar sistem layanan, tapi penyelamat bagi masyarakat yang tidak mampu. Jangan sampai BPJS kolaps karena ketidaksadaran kolektif,” pungkasnya.
(B4M/Lensa Parlemen)