LENSA PARLEMEN – SURABAYA
Komisi A DPRD Kota Surabaya menggelar Rapat Dengar Pendapat (RDP) untuk menindaklanjuti pengaduan warga terkait penguasaan lahan di wilayah Jl. Kemudi Pabean Cantikan, Kamis (20/02/2025). Dalam Rapat tersebut, hadir Camat Pabean Cantikan, Kabag Hukum dan Kerjasama Pemkot Surabaya, Ketua Yayasan Stichting Willem Versluis Surabaya, serta pengacara Ibu Anne yang menyewa lahan, yaitu Law Firm DW & Partners.
Ketua Komisi A, Yona Bagus Widyatmoko, menjelaskan bahwa permasalahan ini berkaitan dengan sewa menyewa, bukan jual beli lahan. Ia menegaskan bahwa dalam hearing tersebut, kedua belah pihak, baik penyewa maupun pihak yang menyewakan, akhirnya menyepakati empat hal penting. Pertama, mengenai kewajiban pembayaran sewa yang belum terbayarkan oleh Ibu Daisy Wilhelmina Mavis Warella-Pea kepada Yayasan/Stichting Willem Versluis Surabaya, yang diwakili oleh Saudara Andri Irawan, harus dipenuhi sesuai dengan perjanjian sewa menyewa yang berlaku.
“Begitu juga dengan kewajiban- kewajiban lain yang tercantum dalam perjanjian sewa menyewa, baik oleh pihak penyewa maupun pihak Yayasan,” ujar Yona Bagus Widyatmoko kepada wartawan usai rapat dengar pendapat..
Selanjutnya, disepakati bahwa kedua belah pihak akan menyelesaikan masalah ini secara kekeluargaan tanpa adanya tindakan anarkis. Yayasan/Stichting Willem Versluis Surabaya juga sepakat untuk mencabut Surat Kuasa kepada Mulyono/Moch. Syamsul Arifin pada 1 Maret 2024 yang terkait dengan pengurusan pengosongan lahan di Jl. Kemudi No. 1, Surabaya, dan akan melakukan komunikasi yang baik terkait tunggakan atau permasalahan wanprestasi perjanjian dengan para penyewa.
Keempat, disepakati bahwa tidak ada pernyataan atau tindakan terkait jual beli, pengalihan, atau pengambilalihan objek rumah di Jl. Kemudi No. 1, Surabaya.
“Penyelesaian masalah perjanjian sewa menyewa kedua belah pihak agar dilaporkan kepada Komisi A DPRD Kota Surabaya melalui surat resmi oleh Law Firm DW & Partners,” jelas Yona.
Yona mengungkapkan bahwa masalah ini sebetulnya merupakan masalah yang adil, di mana kedua pihak memiliki tanggung jawab masing-masing. Meskipun penyewa mungkin melakukan kesalahan, pihak Yayasan juga diharapkan dapat menunjukkan bukti terkait wanprestasi dari penyewa jika ada.
“Jika Anda tidak bisa menunjukkan adanya wanprestasi, maka pemutusan sepihak dapat melanggar hukum, dan jika kedua belah pihak kaku, masalah ini bisa berakhir di pengadilan,” ujar Yona.
Ia kembali menekankan pentingnya penyelesaian secara kekeluargaan tanpa harus melibatkan pengadilan, mengingat biaya-biaya yang akan timbul dari proses hukum. Indonesia menganut asas musyawarah mufakat. Selama semua pihak dilandasi dengan kebesaran jiwa, etika baik, dan pikiran positif, masalah apapun bisa diselesaikan dengan musyawarah.
“Alhamdulillah, kedua belah pihak sepakat, termasuk negara melalui DPRD dan pemerintah kota yang selalu hadir untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi warganya,” pungkasnya.(B4M)