LENSA PARLEMEN – SURABAYA
Rapat dengar pendapat yang digelar oleh Komisi A DPRD Surabaya, Rabu (19/3) menjadi wadah untuk menanggapi pengaduan yang disampaikan oleh Forum Analisis Surabaya (Fasis) mengenai permasalahan hak atas bidang tanah dan bangunan dengan status Surat Ijo. Rapat ini dipimpin oleh Ketua Komisi A, Yona Bagus Widiatmoko, dan dihadiri oleh perwakilan dari Kantor Pertanahan I dan II, serta Bagian Hukum dan Kerjasama Pemkot Surabaya.
Pada kesempatan tersebut, Fasis mengemukakan kekhawatiran mengenai ketidakjelasan status hukum tanah yang menggunakan Surat Ijo, yang seringkali menimbulkan ketidakpastian bagi pemilik dan pihak terkait. Dalam rapat ini, para peserta saling berdiskusi untuk mencari solusi yang dapat memberikan kepastian hukum bagi warga Surabaya yang memiliki tanah dengan status tersebut.
Beberapa poin penting yang dibahas termasuk kemungkinan regulasi yang lebih jelas, perlindungan hak atas tanah, dan mekanisme untuk memastikan transparansi serta keadilan dalam proses pengelolaan tanah dengan Surat Ijo.
Juru bicara Forum Analisis Surabaya, Johniel Lewi Santoso, mengungkapkan bahwa pihaknya telah mengumpulkan data terkait kepemilikan tanah dengan status Surat Ijo, termasuk beberapa bidang yang telah berstatus Sertifikat Hak Milik (SHM).
Menurutnya, niatan utama forum ini adalah membantu rakyat kecil yang menggunakan tanah berstatus IPT (Izin Pemakaian Tanah) Surat Ijo, khususnya bagi pemilik tanah yang luasnya tidak lebih dari 200 meter persegi dan lebar jalan di depannya tidak lebih dari 4 meter.
“Kami sudah berkeliling ke berbagai daerah, termasuk Bandung, untuk melihat bagaimana permasalahan Surat Ijo ditangani di tempat lain. Bahkan, kami juga sempat berkonsultasi dengan KPK. Dari hasil konsultasi, kunci utama permasalahan ini ada di Kementerian Keuangan, karena aset tanah yang berstatus Surat Ijo berada dalam kewenangan mereka, bukan sekadar administrasi di tangan pemerintah kota,” ujar Johni.
Menurutnya, selama ini persoalan Surat Ijo sering dijadikan komoditas politik dalam setiap pemilu tanpa adanya penyelesaian nyata. Oleh karena itu, ia mendorong agar ada kejelasan dalam regulasi, termasuk kemungkinan pembuatan peraturan daerah (perda) yang mengatur pelepasan tanah bagi rakyat kecil dengan kriteria yang jelas.
Ketua Komisi A DPRD Surabaya, Yona Bagus Widiatmoko, menanggapi pernyataan tersebut dengan menegaskan bahwa pihaknya siap bekerja sama untuk mencari solusi terbaik bagi warga Surabaya. Menurutnya, isu Surat Ijo harus dibahas secara transparan dan tidak menjadi alat politik lima tahunan.
“Kami ingin agar warga Kota Surabaya mendapatkan haknya, terutama bagi masyarakat miskin. Tidak boleh ada penyalahgunaan yang menguntungkan pihak tertentu, seperti pengusaha yang memanfaatkan IPT untuk usaha showroom atau bisnis lainnya. Kami di Komisi A akan mendorong agar solusi ini difokuskan untuk rakyat kecil,” kata Yona.
Yona juga menyebutkan bahwa pihaknya akan mengusulkan agar tanah dengan status Surat Ijo yang ditempati warga miskin dapat diberikan sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) di atas Hak Pengelolaan Lahan (HPL). Namun, ia menekankan bahwa langkah tersebut harus mendapat kepastian dari Kementerian Keuangan.
“Jika Kementerian Keuangan memberikan lampu hijau, kita bisa merancang perda sebagai dasar hukum yang jelas. Tapi jika tidak, maka segala upaya akan sia-sia. Oleh karena itu, kita harus fokus pada jalur yang tepat agar tidak larut dalam polemik berkepanjangan,” jelasnya.
Dalam pertemuan tersebut, DPRD Surabaya menekankan pentingnya proses identifikasi aset tanah yang memiliki status Surat Ijo untuk mencegah potensi penyalahgunaan oleh pihak-pihak yang tidak berhak. Komisi A berkomitmen untuk terus mengawal isu ini hingga tercapai kepastian hukum bagi warga yang berhak.
Dengan demikian, rapat dengar pendapat ini menjadi langkah awal yang signifikan dalam upaya memperjelas status kepemilikan tanah bagi masyarakat kecil di Kota Surabaya, agar masalah ini tidak lagi menjadi sumber polemik politik yang terus berulang setiap kali pemilu berlangsung. (B4M)