LENSA PARLEMEN – SURABAYA
Komisi B DPRD Kota Surabaya menggelar rapat dengar pendapat (hearing) untuk menindaklanjuti pengaduan warga terkait pembangunan Rumah Sakit Siloam di gedung yang sama dengan Apartemen Cito. Hearing ini merupakan kelanjutan dari pembahasan serupa yang sebelumnya telah digelar di Komisi A dan Komisi C DPRD Surabaya beberapa tahun lalu.
Wakil Ketua Komisi B DPRD Kota Surabaya, Mohammad Machmud, menyatakan bahwa pihaknya menerima laporan keresahan dari penghuni apartemen atas keberadaan rumah sakit tersebut, yang dinilai berpotensi mengganggu kenyamanan dan membahayakan kesehatan warga.
“Memang kita menerima pengaduan dari penghuni apartemen di kawasan Cito. Kita sudah undang semua dinas terkait (Pemkot Surabaya.red), dan mereka menyatakan bahwa izin pembangunan rumah sakit tersebut lengkap,” kata Machmud usai hearing, Senin (26/5/2025).
Machmud menjelaskan bahwa perubahan peruntukan fungsi bangunan—dari semula bukan rumah sakit menjadi rumah sakit—telah dilengkapi dengan adendum Amdal (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan) lama, yang menurut Dinas Lingkungan Hidup tidak memerlukan lagi persetujuan dari RT atau RW setempat.
Namun demikian, DPRD mencatat adanya permasalahan mendasar dalam proses perizinan, yakni tidak adanya pelibatan langsung warga penghuni apartemen.
“Permasalahan utama yang tersisa adalah ketidakterlibatan warga dalam proses ini. Ini yang sedang kita fasilitasi,” lanjut Machmud. “Karena semua izin sudah keluar, maka kami di Komisi B berupaya mencari solusi terbaik agar tidak ada pihak yang dirugikan.”
Lebih lanjut, ia mengungkapkan bahwa struktur bangunan terdiri dari lantai 1 hingga 8 yang difungsikan sebagai rumah sakit, lantai 9 hingga 13 disebut kosong, sementara unit apartemen berada di lantai 15 hingga 33. Komisi B berkomitmen untuk menelusuri status pemanfaatan masing-masing lantai tersebut.
“Lantai 1 sampai 8 digunakan untuk rumah sakit, sementara apartemen ada di lantai 15 hingga 33. Lantai 9 sampai 13 ini kosong, tapi kita akan telusuri kembali status dan pemanfaatannya,” ungkapnya.
Komisi B juga menemukan adanya perbedaan informasi administratif mengenai RW lokasi bangunan tersebut. “Satu dokumen menyebut RW 2, satu lagi RW 3. Ada perbedaan data, satu berdasarkan KTP, satunya berdasarkan NPWP. Ini akan kita verifikasi lewat titik koordinat,” terang Machmud.
Ia menambahkan bahwa hearing akan dilanjutkan dalam waktu dekat dan pihak kelurahan akan turut diundang, mengingat pada rapat kali ini fokus masih pada aspek perizinan sesuai tupoksi Komisi B.
Penolakan Keras dari Penghuni Apartemen
Sementara itu, gelombang penolakan datang dari penghuni Apartemen Cito sendiri. Mereka menolak keras keberadaan Rumah Sakit Siloam yang dibangun dalam satu struktur gedung, dengan alasan potensi risiko penularan penyakit dan kurangnya transparansi proses perizinan.

Salah satu perwakilan warga, Herman Tedja, menyampaikan langsung kekhawatirannya dalam wawancara dengan media.
“Kami sangat keberatan dengan adanya rumah sakit di satu gedung dengan tempat tinggal kami,” tegas Herman.
Belajar dari pengalaman COVID-19, tinggal di rumah saja masih bisa tertular, apalagi kalau satu gedung, imbuhnya.
Menurut Herman, kemungkinan penularan penyakit menjadi sangat tinggi karena interaksi tidak terhindarkan. Ia juga mempertanyakan prosedur kebersihan para tenaga medis yang kemungkinan juga tinggal di apartemen.
“Apakah mereka akan mandi bersih dulu sebelum masuk apartemen? Kan tidak. Ini sangat riskan,” ucapnya.
Herman mengaku pindah ke Cito bersama empat anak kecilnya dan menilai keberadaan rumah sakit sama dengan mempertaruhkan keselamatan keluarganya.
“Itu seolah-olah saya membunuh anak-anak saya sendiri,” ujarnya dengan nada emosional.
Warga mempertanyakan legalitas perizinan seperti SKRK (Surat Keterangan Rencana Kota) dan RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah) yang disebut telah diubah tanpa adanya sosialisasi atau persetujuan dari warga terdampak.
“Warga yang memberikan kuasa kepada kami semuanya menolak,” tambahnya.
Dari 238 unit apartemen yang ada, sekitar 150 unit dihuni secara aktif. Dalam grup komunikasi warga yang mereka bentuk, tercatat 112 anggota aktif, beberapa di antaranya memiliki lebih dari satu unit. Herman menyatakan, “Mayoritas dari kami menolak.”
Ia juga mengungkapkan bahwa awalnya gedung tersebut direncanakan sebagai hotel, kemudian diubah menjadi rumah sakit.
“Waktu itu sempat diajukan sebagai rumah sakit COVID, dan kami sudah menolak. Ternyata sekarang diubah jadi rumah sakit umum,” jelasnya.
Masalah lainnya, lanjut Herman, adalah tidak adanya pemisahan fisik yang memadai antara area rumah sakit dengan area hunian.
“Lift yang kami gunakan sama. Semua akses dari bawah melewati rumah sakit. Masa hanya dibatasi dinding?” katanya. “Virus tidak terlihat. Beda dengan kecoa atau tikus.”
Saat ini, pembangunan Rumah Sakit Siloam telah memasuki tahap akhir. Namun warga menegaskan bahwa proyek tersebut dijalankan tanpa sosialisasi dan persetujuan dari penghuni apartemen.
“PBG (Persetujuan Bangunan Gedung)-nya sudah keluar, tapi tanpa sosialisasi ke kami,” tegas Herman.
Komisi B memastikan akan melanjutkan proses hearing untuk menggali lebih dalam duduk persoalan ini dan mencari solusi yang mengakomodasi kepentingan warga, pengembang, serta pemerintah kota secara adil.
Editor: Lensa Parlemen/B4M