Kamis, Oktober 9, 2025
Google search engine
BerandaKOMISI - BDPRD Surabaya Minta Kepastian Pajak Reklame SPBU, RDP Kembali Tertunda

DPRD Surabaya Minta Kepastian Pajak Reklame SPBU, RDP Kembali Tertunda

Bagikan

LENSA PARLEMEN – SURABAYA
Komisi B DPRD Surabaya kembali menunda pelaksanaan Rapat Dengar Pendapat (RDP) antara Himpunan Wiraswasta Minyak dan Gas (Hiswana Migas) dengan Badan Pendapatan Daerah (Bapenda).

RDP yang dijadwalkan berlangsung hari ini Kamis, 2 Oktober 2025, batal dilanjutkan karena ketidakhadiran Kepala Bapenda dan perwakilan Inspektorat Kota Surabaya untuk ketiga kalinya.

Wakil Ketua Komisi B DPRD Surabaya, Mochamad Machmud, S.Sos., M.Si., menyayangkan sikap Pemkot Surabaya yang hanya mengirimkan pejabat setingkat kepala bidang dalam Rapat Dengar Pendapat tersebut. Menurutnya, ketidakhadiran pejabat yang memiliki kewenangan dalam pengambilan keputusan menyebabkan forum mediasi kehilangan arah dan tujuan utama dari pertemuan tidak tercapai.

“Untuk kesekian kalinya, Kepala Bapenda tidak hadir. Inspektorat juga tidak hadir. Padahal kita membahas hasil pertemuan dengan BPK yang menemukan adanya tagihan Rp1,6 miliar. Sementara Pemkot malah mengajukan tagihan mulai 2019 hingga 2025, yang justru tidak ada dalam laporan BPK,” katanya.

Machmud menegaskan bahwa DPRD akan kembali menjadwalkan rapat tersebut, namun dengan terlebih dahulu memastikan kesediaan pimpinan instansi terkait untuk hadir. Langkah ini diambil agar forum berjalan efektif dan menghasilkan keputusan yang konkret.

“Kalau tidak bisa di DPRD, ya bisa saja di Pemkot. Yang penting segera ada solusi, karena ini menyangkut waktu dan kepercayaan masyarakat,” ujarnya.

Sekretaris DPC Hiswana Migas, Sidha Pinasti, turut menyoroti ketidakhadiran pimpinan Bapenda yang, menurutnya, telah mengurangi kewibawaan forum.
Ia mencontohkan masih terpasangnya tanda silang di sejumlah SPBU, yang seharusnya sudah dicabut sesuai hasil rapat sebelumnya, namun hingga kini belum juga direalisasikan.

“Kalau hanya janji tanpa realisasi, rapat menjadi mubazir. Tanda silang itu menimbulkan kerugian reputasi dan material bagi pengusaha migas,” ungkap Sidha.

Sementara pakar hukum Universitas Narotama, Dr. Himawan Estu, SH., MH., menyoroti aspek legal dari persoalan pajak reklame SPBU ini. Menurutnya, pemerintah daerah tidak boleh memberlakukan tagihan retroaktif.

“Hal-hal yang membebani subjek hukum tidak boleh berlaku surut. Kalau pajak sudah dibayar sesuai ketetapan pemerintah, lalu dikoreksi sepihak bertahun-tahun kemudian, itu menimbulkan persoalan hukum serius,” jelasnya.

Di sisi lain, perwakilan Bapenda, Ekkie Noorisma, menegaskan pihaknya masih menunggu arahan pimpinan sebelum mengambil keputusan. Ia berdalih prinsip kehati-hatian menjadi alasan utama.

“Masukan sudah kami catat. Namun tindak lanjutnya ada di ranah pimpinan. Kami tetap berusaha memberikan yang terbaik, tapi perlu evaluasi dari sisi hukum dan bisnis,” pungkasnya.

Hingga saat ini, belum ada keputusan final terkait pencabutan tanda silang maupun mekanisme penagihan pajak reklame di SPBU.

DPRD menegaskan akan terus mendorong penyelesaian permasalahan ini agar tidak berlarut-larut dan memberikan kepastian bagi semua pihak yang terlibat.

B4M/Lensa Parlemen

RELATED ARTICLES
- Advertisment -spot_img
- Advertisment -spot_img
- Advertisment -spot_img
- Advertisment -spot_img
- Advertisment -spot_img
- Advertisment -spot_img
- Advertisment -spot_img

Most Popular

Recent Comments